- Duhai hati, istiqomahlah -
Gelisah
Andai kau yang menjadi aku
Menjalani hari hari ditengah ke asingan
Menjadi pusat cemoohan banyak orang
Menjadi yang sangat terabaiakan diantara banyaknya perhatian
Ahh, pandai sekali kau
Pandai sekali mengoreksi kesalahan orang
Pandai sekali berbicara perihal keburukkan orang
Kau kira hijrah ini hanya pencitraan?
Aku juga sedang berusaha istiqomah kawan
Ada banyak orang seperti mu saat ini
Hanya bisa menyalahkan
Tanpa bisa mengerti keadaan
Tapi, akankah aku menyerah kawan?
Tidak,
Tidak sama sekali
Mungkin kau berfikir aku akan berhenti karena banyaknya kesulitan
Bahkan aku akan tetap berjalan
Tanpa memikirkan sulit atau mudahnya
berat atau ringannya, dan senyum atau lukanya
Meski panjangnya waktu yang ku tempuh
Tetap aku akan bersimpuh
Pada Rabb ku berkeluh
Dibawah langit diatas bumi aku berpeluh
Hingga Allah membuat hatimu luluh
Duhai hati, Istiqomahlah
😁😁
Matahari pagi mulai merekah. Cahayanya tajam menembus jendela kamarku. Terasa hangat menerpa wajah. Ada rintihan kecil di sebelah kamarku. Amara, kembali menangis ter sedu sedu ketika melihat aku membuka pintu. aku terduduk, diminta menjadi pendengarnya.
" Aku, dzolim pada diriku Za " Katanya memulai pembicaraan.
" Maksudmu? " tanyaku singkat.
" Apa pendapatmu jika aku tak lagi istiqomah Za? akankah kau menjauhiku?"
aku hanya senyum, namun Amara terlihat sangat serius. yang terlihat hanya ancaman dan kegelisahan. aku manarik nafas, dan mendekatinya. Kali ini aku benar benar dekat. Ku dongakkan wajahnya yang terus tertunduk. Kuberi dia senyuman lembut, kembali ku hapus air matanya dan kurapihkan khimar yang terlilit di lehernya.
"Amara, iman itu bagaikan air laut. Pasang atau surutnya tak menjadi masalah. hanya saja bagaimana para nelayan untuk memposisikan dirinya."
"Tapi za.. aku sekarang menjadi muslimah yang hina. akuuu...." Amara terdiam dan kembali menundukkan kepalanya.
"kau tau, dua tahun ini aku tak pernah memakai celana seketat ini. Aku tak pernah memakai khimar setipis ini. Dan lihat kaus kaki ku Za" katanya pelan.
aku hanya terseyum. kembali ku dongakkan wajahnya, kutepuk pundaknya dan berkata
"Tak seorang manusia pun yang mampu menjadi penentu kemuliaan dan kehinaan kita Ra, Aku mengerti perasaanmu, empat tahun aku mengenalmu, aku yakin ini bukan kamu yang sebenarnya. Ara ku yang dulu sangat lembut, tak mudah marah ya kan?"
"Khilaf adalah hal yang biasa. Namun ampunan Allah melebihinya Ra. Kembali pada Allah, maka Allah akan kembali mengasihi kita."
"Tapi za, aku malu pada diriku sendiri. Aku terlalau sibuk ingin terlihat baik dimata orang. Hingga aku lupa diri, aku bodoh, aku dzolim Za." Isak tangisnya kian menjadi. Matanya sembab, hidungnya memerah.
Hari ini kulihat dia sebagai muslimah yang paling berdosa. Penyesalannya begitu dalam, tangisnya tiada henti. Dua minggu Ara menanggalkan jilbabnya dan selama itu pula aku tak mengetahuinya. Sebab kesibukan ku dalam berorganisasi.
😊😊
Iman boleh saja menurun, sunnah pun tiada harga. Namun yang wajib janganlah lupa. Setitik harap dari Ayah atas ketaqwaan kita.
"Tapi aku gapunya temen del, aku dibilang gak modis dan mereka gamau nemenin aku!"
Bukan hanya tak memiliki teman, bahkan hampir semua orang menjauhiku. Termasuk orangtua yang belum mengerti tentang kewajibanku.
Tidak istiqomah dalam beribadah its okey my dear. But, kalau sampai lepas identitas aku gak setuju. Sangat gak setuju.
"Tidak ada suatu cobaan sepeninggalanku yang lebih berbahaya bagi kaum laki laki yang melebihi bahayanya cobaan yang berhubungan dengan soap wanita."
(HR.Bukhari)
#Yangpenting nulis:"
**
heyhoo my readers! dibutuhkan kritik dan saran kaliaaan nihh. okeee:)
kirim ke 08999553027 (WA)
Ditunggu ya readers 😊😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar