Aku menulis bukan untuk merasa tunai. Ia adalah rasa yang sulit kugambarkan oleh diriku sendiri. Kata demi kata yang kurapal, acap kali ku musnahkan. Tapi kata katalah yang melahirkan tulisan. Dan kata kata, ada sebelum tulisan. Dan hanya kata kata pula lah yang akan selalu ada setelah tulisan.
Fonem vokal yang berjatuhan dari atap kamarku terus merengek dan menggoda jari jemariku yang tertidur lelap. Gugup, berkeringat, jariku tak sanggup menulis, barang satu huruf. Kembali ku benarkan nafas, agar tulisanku menjadi pas. Namun ia hanya menyisakan kata "cinta" pada hati yang terluka berat.
Aku teringat pada sesuatu yang lekat. Ia tersusun dalam rangkaian kata yang tak mudah robek. Abadi meski semesta mengadili tanpa bahasa. Kala itu Rabiah berlari diantara ramainya pasar. Ditangan kirinya ada obor yang menyala, dan di tangan kanannya ia bawa seember air. Mata mata manusia terbelalak melihat tingkahnya, dan bertanya “Hai Rabiah, apa yang kamu lakukan?”
"dengan air ini aku ingin memadamkan neraka dan dengan api ini aku ingin membakar surga, agar setelah ini orang orang tidak lagi menyembah Tuhan karena takut neraka dan berharap surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba Tuhan akan menyembah-Nya hanya karena cinta” timpalnya.
Dan kebutaan tentang cinta Nya tak kan pernah mengering. Ia paksa mata tuk menangis, terus menerus hingga hilang dari wajah. Seperti ombak laut yang bertepukan, syair para darwis selalu menampar kepekaanku. Aku dan kisah ini, takkan pernah selesai. Bahwa menulis bukan alasan semua telah tunai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar