Punggung kekar tuan tabah kala itu merindu tempat bersandar. Di atas kursi kayu ia merebah. Memejam erat, bersedekap tangan. Mulut menganga, nafas tersengal.
Dikata, ia pelalai. Sebab saat itu ia timbun ashar bersama peluh. Tapi siapa sangka? Ia penyembah paling patuh. Lisan emasnya tiada pernah mengeluh. Sedap manis ia makan sebagai buruh. Memang, tabiat manusia suka salah angkuh. Ia salah roman dipandang orang.
Satu persatu burung murai berkicau. Berdenyut denyut memecah dingin yang mencekau. Tapi mentari yang lamat lamat undur diri. Acapkali bertukar dengan awang awang yang jarang ku jumpai. Bersama angin ia tebar wangi kasturi.
Dari muka jendela kamar kulayangkan pandang pada tuan tabah. Masih terlelap dengan pakaian lusuh pemberian borjuasi. Terganyih kalbu tuk menyadarkan diri. Pecah kabar saat telinganya mendengar 'ashar hampir tinggal'.
Ia terdayuk,
Lalu terduduk
Belum tandas,
Masih pantas
"Pinjam ragamu sebentar"
"Untuk apa?"
"Berjumpa dengan Nya"
Kemarin
Wiraga tegap
Wirasa kalap
Muda mati ter sergap
Hari ini
Tegap berganti rapuh
kalap berganti simpuh
Tua, mati matian berpeluh
Dik, pagi memuda.
Petang menua.
Begitu cepat lalunya
Seperti kita di dunia
akan fana pada masanya.
Sebelum hati kembali dihujani sarwa derita.
Ia enggan dosa jadikan histeria. Sebab bila Dia murka, kita bisa apa ?
Sebentar saja episodeku akan tamat, dan tulang tulangku habis di lumat liang zulmat. Tapi kapan muda nyata ber i'tikad?
Ah bedebah. Jangan mengiba jangan mengghibah. Karna kau sudah kalah.