Ini sebuah kisah. Tentang aku. Tentang … kamu. Kisah tentang mencari bahagia. Menjalani proses panjang untuk menemukan siapa kita sebenarnya.
Pagi datang. Bersiap untuk menuju sekolah. Menuju beban. Menuju tantangan. Beban atau tantangan? Ah peduli apa aku? Toh setiap pagi kujalani ini. Begitu juga teman-temanku.
Peduli apa aku? Bagiku beban atau tantangan penampakannya sama aja. Membuatku dalam rutinitas yang sama tiap harinya. Berhadapan dengan kejenuhan. Berhadapan dengan cerewetnya Bunda. Galaknya Ayah. Berhadapan dengan permasalahan yang bikin galau berkepanjangan.
Ketika jenuhku jadi kronis tinggal aku cari pelarian. Ketika galauku mencapai stadium lanjut kuharus cari jalan keluar. Karena kalau jenuh kronis kayak begitu aku pelihara bisa-bisa stress tingkat tinggi. Hiii..y! Seram kali! Ga mau lah.
Ū
Memperhatikan semua, membuatku merenung panjang. Aku berhak bahagia. Aku berhak untuk lepas dari gulana. Tapi mencari ke mana?
Benar aku berhak merasa bahagia! Aku berhak untuk merasa lega setelah beban berat ini bisa terangkat semua. Tapi mencari ke mana? Mencari siapa?
Allah ….
Tawakal …
Ikhtiar …
Sabar …
Cuma itukah
Kunci menuju bahagia itu?
Allah ….
Tempat bersandar
Satu-satunya?
Pelabuhan segala gundah
Sejati selamanya?
Itukah kunci bahagia
Sesungguhnya?
Dan ….
Pencarianku belum akan usai
Tapi langkah sudah gontai
Lalu boleh sejenak bersantai?
Tapi …
Bisa saja sedikit lagi makna itu kugapai
Semilir angin
Di tengah gemericik air
Bukan hujan
Tapi cukup meneduhkan
Membawaku kepada satu ingatan
Sesuatu
Yang kuabaikan
Padahal mendalam pelajaran
Yang mencerahkan
Tentang pergulatan
Menaklukkan yang asing
Menyakitkan
Tapi indah di akhir
Yang sebelumnya
Sebutir debu asing
Tak penting
Yang sebelumnya
Setitik pasir
Nilainya hampir nihil
Akibat perjuangan
Kerang
Sekuat karang
Melelahkan
Mengguratkan
Sakit panjang
Kini
Yang tak penting
Yang dinilai hampir nihil
Muncul
Dari sebuah kerang mati
Islam tidak diizinkan mengatur bagaimana seorang muslim atau muslimah berpakaian. Jilbab dan kerudung, model, dan ketentuannya lebih dipercayakan ke desainer kenamaan.
Islam tidak boleh ngatur ini, tidak boleh ngurusin itu. Jalan pikiranku sempat buntu.
Islam, agamaku, yang seharusnya menjadi jalan dan cahaya hidupku. Tapi karena kebodohanku kusingkirkan jauh dari hidupku. Selama ini ia menjadi begitu asing.
Sekarang aku begitu rindukan ia kembali, tak lagi ingin berpaling. Tapi … yang telah terlanjur menjadi asing butuh perjuangan yang pasti tak sebentar untuk membuatnya selalu hadir.
Perjalanan tiram dan mutiara itu kah yang harus kujalani? Yang asing datang membawa sakit berkepanjangan. Guratan demi guratan derita harus mau dijalani sedemikian rupa. Hingga hadirlah mutiara dan kilaunya yang tiada tara.
Ya. Belajar dari kisah mutiara. Seperti itu juga rupa ikhtiar yang mesti kujalankan. Serupa dengan yang pernah Rasulullah SAW sabdakan:
"Akan datang suatu zaman di mana orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api." (HR. Tirmidzi)
Islam asing kini. Dan … menjalaninya secara utuh, memegang ajarannya dengan teguh seperti menggenggam bara api. Pedih. Perih. Berjerih.
Tapi aku tidak bisa kembali ke jalan yang semula. Jalan yang gulita. Membuat fikir terhalang dari cahaya dan hampir mati rasa. Ku harus teruskan pencarian ini hingga ketemukan kebenaran yang … hakiki.
Mengakrabi kitab suci yang lama kubiarkan usang seperti aku berhadapan dengan seseorang yang kukagumi setengah mati. Haru, bahagia, grogi. Berupaya menjadi sahabat bagi Al Quran itu sesuatu sekali. Seperti hidup setelah mati suri.
Kamu paham maksudku? Kalaupun tidak, aku bisa maklum. Karena rasaku ini sulit kugambarkan oleh diriku sendiri. Aku hanya mampu bilang, “Allahu Akbar!” Allah telah tunjukkan jalan.
Seperti seorang bocah kecil yang sempat ketakutan luar biasa, gundah luar biasa karena tersesat di tengah perjalanan panjang. Menangis. Panik. Ga tahu ke mana harus kaki dilangkahkan. Hingga cahaya itu berhasil aku temukan dan akhirnya aku bisa kenali kembali arah menuju pulang.
Sebagai hamba Allah yang masih tertatih menapaki tiap tangga cobaan. Sebagai hamba Allah yang masih tertatih untuk memahami sepenuhnya makna hidup dan kehidupan. Ngaji menjadi penguatku. Teman-teman yang atas izin Allah kubertemu menjadi pengobat kelu.
Maha Benarlah Allah SWT atas segala yang dijanjikan-Nya. Bahwa Al Quran itu petunjuk. Pemberi kabar gembira. Penawar duka.
طه (1) ما أَنْزَلْنا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقى (2) إِلاَّ تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشى.
Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran Ini kepadamu agar kamu menjadi susah; Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah) [QS. Thaha: 1-3]
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa [QS. Al Baqarah:2]
Hari esok dan seterusnya semoga akan lebih baik. Jauh lebih baik. Memang tak akan lantas aku menjadi yang sempurna. Karena memang tidak ada manusia yang sempuna. Tapi setidaknya aku akan terus berupaya lepas dari “kegemaran” mengumpulkan dosa. Khilaf itu akan ada saja sebagai manusia. Tapi benar-benar khilaf adanya. Bukan khilaf yang disengaja.
Setelah ini mungkin akan datang gelombang tinggi yang siap menenggelamkan. Aku harus bersiap diri. Karena takut bukan jadi solusi. Apalagi jika selama ngaji aku jalani bersama mereka, in syaa Allah akan menjadi kuat bersama. Karena tangan yang saling menggenggam, akan saling menguatkan. Karena tiap lisan doa yang diuntaikan dalam sunyi, akan senantiasa Allah kabulkan. Karena tiap tutur nasihat tulus yang disampaikan, akan meneguhkan.
Membaca, menelusuri tiap kalimat dalam cerita mereka yang telah sepenuhnya move on membawaku kepada sebuah rasa. Semangat. Optimisme. Dan … cinta.
Bukan! Bukan cinta yang itu! Tapi cinta yang satunya lagi. Cinta Allah SWT. Sebuah cinta yang diperoleh dengan segala perjuangan. Remuk-redam perasaan. Berbuah perenungan. Lalu penyesalan. Kemudian bermuara kepada … perubahan.
Aku ternyata ga sendiri. Ada mereka hari ini dan in syaa Allah hingga kemudian hari. Itu semakin membuat tekatku semakin terpatri. Tak ada manusia yang sempurna, itu pasti. Hidayah yang mereka dapati justru karena berbagai kekurangan dan cacat-khilaf yang mereka sadari. Jawaban demi jawaban mereka cari. Mereka urai. Dan menjadilah mereka seperti saat ini! Happy! Karena ngaji! Very happy karena diberi kesempatan menapaki hidup dalam Islam sebagai My Real Style.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar