"Sesungguhnya wanita adalah aurat, tatkala ia keluar setan menghiasinya."
Aforisme yang bersumber dari kanjeng Nabi itu dihukumi mutlak keberadaannya. Mungkin, menjadi hal yang amat menyejukkan kala seorang wanita malu malu, dibanding malu maluin. Sebab, faktor kekisruhan psikologis kaum laki laki salah satunya adalah sihir wanita. Meskipun dalam prakteknya ada satu dua kaum hawa yang sungguh sungguh mengamankan keindahan lewat sepotong dua potong kain, tapi naluri laki laki sebagai "kaum eksploitas" Tetap terpanggil.
Saya tidak menyalahkan kaum laki laki, pun kaum perempuan. Karena pada dasarnya sub sub dimensi ruh antara laki laki dan perempuan sama. Satu menjadi manifestasi fitrahnya sebagai manusia, dua menjadi aktualisasi dan improvisasi kesalahtingkahannya sebagai laki laki atau wanita. Tidak ada yang salah, yang salah adalah manajemen nafsu yang tidak hati hati.
Kemarin, mata saya menjamah kumpulan antara wanita dan laki laki. Bahasa halusnya "ikhtilat" Yakni campur baur. Saya koreksi sedikit perkumpulan itu, saya berhusnudzan "sedang ada diskusi" Tapi, sebab saya juga manusia, tak luput dari kekeliruan, saya berdesis -suudzon-, "berpakaian tapi kesannya telanjang, andai wanita tau tajamnya mata laki laki, yang pertama akan dilakukan adalah menutup aurat". Kalau saja proporsi fitrah menutup aurat ini dilanggar, atau disimpangkan. Bisa apa dia sebagai wanita, kalau bukan bertaubat? Memoles gaya hidup modern dengan islam klasik tanpa merasa diberatkan syariat.
Lalu dalam prosesnya, wanita menjadi beragam jenisnya. Kaum wanita yang satu, memakai hijab adalah metode mawas diri atau bentuk perlindungan harkat nya dari otoritas kultural rezim laki laki. Bagi kaum wanita yang dua, hijab adalah ekspresi dari modernisasi, ekspresi pemenuhan isi lemari dengan barang barang trendi tapi bukan sebagai ruang kebutuhan. Sekedar hobi, sekedar koleksi. Padahal kalau sudah berurusan dengan kematian, bisa apa barang barang mereka itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar